Kamis, 14 April 2011

Ketaatan terhadap perundang-undangan nasional

PENDAHULUAN
Negara menurut plato adalah keinginan dan kebutuhan manusia yang aneka ragam dan saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhannya itu. Dalam rangka itulah, perlu diadakannya suatu tatanan kehidupan agar terhidar dari kesemrawutan hidup berbangsa dan berbegara. Apalagi seperti yang diungkapkan oleh van vollenhoven bahwa Negara menganut paham catur praja yang meliputi:
1. Fungsi perundang-undangan
2. Fungsi kehakiman
3. Fungsi pemerintah
4. Fungsi keamanan
Keempat fungsi di atas harus berjalan dengan baik sehingga tujuan dan cita-cita bangsa itu dapat tercapai, yakni kebahagiaan yanh sebesar-besarnya dan merata bagi setiap manusia tanpa perbedaan perlakuan ataupun hak.

Pemerintah membuat peraturan,undang-undang,dan hukum untuk menciptakan tertib penyelenggaraan bernegara. Para pejabat Negara atau penyelenggara pemerintahan bertindak mendasarkan pada peraturan yang telah diterapkan. Demikian juga peraturan itu mengikat dan berlaku bagi warga Negara Indonesia. Warga Negara mentaati peraturan itu agar tercipta kehidupan bermasyarakat, berbagsa dan bernegara yang teratur,aman,dan damai. Negara membuat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan penyelenggara bernegara dan kehidupan bermasyarakat,dan bernegara yang teratur,dan aman.









KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya sehinnga dapat menyelesaikan tugas softskill Pendidikan Kewarganegaraan yang saya beri judul “Ketaatan Terhadap Perundang-undangan Nasional” di Universitas Gunadarma.Saya berterima kasih kepada dosen Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan bimbingan sehinnga dapat diselesaikannya tugas ini.
Saya sebagai penyusun meminta maaf apabila dalam makalah ini terjadi kesalahan.Penyusun berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya untuk mahasiswa Universitas Gunadarma dan umumnya seluruh masyarakat Indonesia.





Jakarta, April 2011
Penyusun










A. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang harus kita jalankan sebagai warga negara Indonesia yang baik dan bertanggung jawab. Tiap peraturan tersebut dikelompokkan dalam berbagai kelommpok seperti berikut ini di mana yang paling atas adalah yang paling kuat di mana peraturan yang bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum di atasnya :
- UUD 1945 / Undang-Undang Dasar 1945
- Tap MPR / Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
- UU / Undang-Undang
- Perpu / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- PP / Peraturan Pemerintah
- Kepres / Keputusan Presiden
- Perda / Peraturan Daerah
Agar Rancangan Undang-Undang bisa menjadi Undang-Undang dipelukan melewati empat tahapan seperti :
1. Persiapan Rancangan Undang-undang.
2. Pembahasan di DPR.
3. Pengesahan oleh Presiden.
4. Diundangkan oleh Sekretariat Negara.
Sedikit Mengenai Sistem Peraturan Perundangan Di Indonesia :
1. UUD '45
- Merupakan hukum dasar
- Berisi 37 pasal
- Mengalami amandeman atau perubahan beberapa kali oleh MPR
2. Tap MPR
- Tap MPR Dibuat oleh MPR untuk melaksanakan UUD 1945
- Memiliki kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam majlis
- Berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia
- Kalau Keputusan MPR hanya berlaku bagi anggota majelis atau mengikat ke dalam
3. Undang-Undang
- Dibuat DPR dan Pemerintah/Presiden untuk melaksanakan UUD 45 dan Tap MPR
- Berlaku bagi warga negara Indonesia
4. Perpu
- Yang membuat perpu adalah Presiden jika negara sedang dalam genting / gawat darurat.
- Tidak perlu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
- DPR dapat mengawasi jalannya Perpu
5. PP / Peraturan Pemerintah
- Ada PP Pusat dan PP Daerah
- PP dibuat oleh Presiden (Pemerintah Pusat) atau Gubernur / Walikota / Bupati (Pemerintah Daerah)
- Dibuat untuk melaksanakan Undang-Undang
6. Keppres
- Presiden berhak mengeluarkan Keputusan Presiden
- Tujuan Keppres adalah untuk administasi negara dan administrasi pemerintahan.
7. Perda
- Perda dibuat pemerintah daerah untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi dengan menyesuaikannya terlebih dahulu dengan situasi dan kondisi yang ada.
- Tidak boleh bertentangan dengan peraturan pusat.
Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, saat ini, masih merujuk ke UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/2004”). Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004 menyebutkan:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Materi muatan UUD 1945 meliputi jaminan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.

Undang-Undang (“UU”) dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden. Materi muatan UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 meliputi: (1) Hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) Kewargangeraaan dan kependudukan; (6) keuangan negara. Selain itu, materi muatan UU yang lain adalah hal-hal yang diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.

Sementara, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”) ditetapkan oleh Presiden ketika negara dalam keadaaan kegentingan yang memaksa. Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Perppu ini harus dicabut. Materi muatan Perppu sama dengan materi muatan UU.

Peraturan Pemerintah (“PP”) ditetapkan oleh Presiden. Materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden (“Perpres”) juga ditetapkan oleh Presiden. Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan, Peraturan Daerah (“Perda”) terdiri dari tiga kategori. Yakni, (1) Perda Provinsi yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) di tingkat Provinsi bersama dengan gubernur; (2) Perda Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan bupati/walikota; dan (3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan, materi muatan Perdes atau yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dan perlu juga diketahui bahwa, dari berbagai peraturan perundang-undangan dalam urutan tersebut, materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan Perda. Hal ini disebabkan, salah satunya, bahwa UU dan Perda dibuat oleh lembaga yang merepresentasikan rakyat, yakni DPR dan DPRD.

Sebelum UU No. 10 Tahun 2004 ini diterbitkan, hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan diatur oleh Ketetapan MPR (TAP MPR). Yakni, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Lalu, diganti oleh TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
B. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Nasional
1. Bagaimana Lahirnya Undang-undang
Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR). Tentang bagaimana DPR itu, kewenangan serta strukturnya telah dibahas pada bab terdahulu. Yang akan dibahas pada bagian ini adalah bagaimana proses pembentukan sebuah undang-undang.
2. Perencanaan
Kita tentu bertanya dasar apa yang digunakan oleh DPR dan presiden untuk menentukan Rancangan Undang-undang (RUU) apa saja yang akan dibahas pada suatu periode tertentu. Sejak tahun 2000, DPR dan pemerintah telah menuangkan indikator program mereka dalam apa yang disebut dengan Program Pembangunan Nasional (Undang-undang N0. 25 tahun 2000). Di dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) itu terdapat indikator pembangunan bidang hukum, salah satu indikatornya adalah ditetapkannya sekitar 120 butir peraturan perundang-undangan. Dari butir-butir Propenas tersebut disusun apa yang disebut dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di mana di dalamnnya terdapat kurang lebih 200 undang-undang yang rencananya akan diselesaikan dalam lima tahun. Kemudian dari Prolegnas dibuat prioritas tahunan RUU yang akan dibahas oleh pemerintah dan DPR, yang disebut Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta).
Prolegnas sendiri disusun melalui koordinasi antara DPR yang diwakili Badan Legislasi dan pemerintah yang diwakili oleh Bappenas. Kemudian proses pembahasannya sama dengan proses pembahasan undang-undang, hanya saja melibatkan seluruh perwakilan komisi yang ada di DPR.
Penyusunan Repeta dilakukan oleh pemerintah (yang diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM) dan Badan Legislasi setelah mendapatkan masukan dari fraksi dan komisi serta dari Sekretariat Jenderal. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menyusun daftar RUU yang akan dimasukan dalam Repeta: Pertama adalah yang diperintahkan langsung oleh undang-undang, kedua yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR, ketiga yang terkait dengan perekonomian nasional, dan yang keempat yang terkait dengan perlindungan terhadap ekonomi sosial. Untuk merespon atas kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, ada batas toleransi 10-20 % untuk membahas RUU di luar yang ditetapkan dalam Repeta. Pengajuan suatu RUU oleh DPR ataupun pemerintah selanjutnya berpedoman pada Repeta yang bersangkutan.
3. Siapa yang Mengusulkan Rancangan Undang-undang?
Sebuah RUU dapat berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) atau dari pemerintah. Di dalam DPR sendiri ada beberapa badan yang berhak mengajukan RUU, yaitu komisi, gabungan komisi, gabungan fraksi atau badan legislasi.
Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi).
Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (PPPI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.
Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.
Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat “netral” bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun.
Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter.
Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat dari mukatamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai.
Sementara itu, pada RUU usulan pemerintah, tata cara perumusannya diatur dalam Keppres 188 tahun 1998. Prosesnya dimulai dengan penyusunan konsep dan naskah akademis yang diikuti oleh permohonan prakarsa yang dilakukan oleh departemen teknis atau lembaga non departemen yang terkait. Setelah mendapatkan persetujuan dari presiden barulah dibentuk panitia perancang RUU. Ada model yang hampir sama dalam setiap pembentukan tim perancang undang-undang ini. Ketuanya adalah menteri dari departemen teknis terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat eselon I (setingkat dirjen), pejabat dari instansi lain yang akan terkait dengan substansi RUU, serta tokoh atau akademisi yang dianggap memiliki keahlian di bidang tersebut. Sedangkan tim asistensi biasanya melibatkan banyak masyarakat sipil seperti kalangan LSM. Tim perancang ini kemudian akan merumuskan sekaligus mengonsultasikan rancangan tersebut kepada publik.
DPR maupun pemerintah tidak mengkavling-kavling RUU mana saja yang akan diusulkan oleh pemerintah dan RUU mana yang akan diusulkan oleh DPR. Bisa saja sebuah RUU dikerjakan oleh berbagai pihak, misalnya saja kasus yang pernah terjadi pada paket undang-undang politik. Pada September 2000, pemerintah (Departemen dalam Negeri) telah membentuk tim untuk menyusun paket RUU politik tersebut. RUU tersebut juga telah disosialisasikan ke beberapa daerah di Indonesia. Paralel dengan proses itu, DPR bekerjasama dengan RIDEP juga telah menyusun Paket Undang-undang politik tersebut. Ironisnya pada saat pemerintah mengajukan RUU tersebut ke DPR pada 29 Mei 2002 dengan Amanat Presiden No. R.06/PU/V/2002 (untuk RUU Partai Politik) dan No. R.07/PU/V/2002 (untuk RUU Pemilu) tidak satupun dari dua konsep tersebut yang diajukan. Depdagri malah mengajukan konsep baru yang dibentuk oleh tim yang berbeda.
4. Prosedur Pengusulan
1. Pengusulan RUU dari Pemerintah
RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang berasal dari Pemerintah disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden dengan menyebut juga Menteri yang mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.
Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, ketua rapat memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Pimpinan DPR menyampaikan RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis dari pengusul kepada media massa dan Kantor Berita Nasional untuk disiarkan kepada masyarakat.
RUU yang berasal dari Pemerintah dapat ditarik kembali sebelum pembicaraan Tingkat I berakhir.
2. Pengusulan RUU dari DPR
Sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang anggota dapat mengajukan usul rancangan undang-undang. Usul RUU dapat juga diajukan oleh Komisi, Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi dengan memperhatikan program legislasi nasional. Usul RUU beserta keterangan pengusul disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya.
Dalam rapat paripurna berikutnya setelah usul RUU tersebut diterima oleh pimpinan DPR, ketua rapat memberitahukan kepada anggota masuknya usul RUU tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota. setelah RUU didesiminasikan kepada anggota, rapat paripurna akan mengamanatkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) untuk mengagendakan waktu pembahasan untuk menentukan apakah RUU tersebut diterima atau tidak.
Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul RUU belum dibicarakan dalam Bamus. Pengusul berhak menarik usulnya kembali, selama usul RUU tersebut belum diputuskan menjadi RUU oleh rapat paripurna. Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali usul, harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota.
Selanjutnya, rapat paripurna memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul DPR atau tidak. Keputusan diambil setelah diberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan dan kepada fraksi untuk memberikan pendapatnya.
Keputusan dapat berupa :
a. persetujuan tanpa perubahan;
b. persetujuan dengan perubahan; atau
c. penolakan
Dari tiga kemungkinan keputusan penerimaan RUU usul DPR, keputusan pertama relatif dapat dimengerti. Namun demikian dapat ditambahkan penjelasan pada dua keputusan lain, sebagai berikut:
- RUU Disetujui dengan Perubahan
Apabila RUU disetujui dengan perubahan, DPR menugaskan kepada Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus untuk membahas dan menyempurnakan RUU tersebut. Setelah disetujui menjadi RUU usul dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR.
- RUU ditolak
Nah, bagaimana jika RUU ditolak? Pada kenyataannya, apabila suatu RUU ditolak oleh DPR untuk menjadi usul inisiatif, tidak ada pengaturan apakah RUU tersebut dapat diajukan lagi pada masa persidangan tersebut.
5. Tingkat Pembahasan dan Persetujuan
a. Pembahasan Tingkat Pertama
Pembicaraan Tingkat Pertama terjadi dalam arena rapat komisi, gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran atau rapat panitia khusus bersama-sama dengan pemerintah.
Tatib tidak menjelaskan proses dan kriteria penentuan badan atau alat kelengkapan DPR mana (apakah komisi, gabungan komisi ataukah pansus) yang akan membahas suatu rancangan undang-undang bersama pemerintah. Menurut keterangan Zein Badjeber, proses tersebut dilaksanakan sepenuhnya oleh Bamus. Bamus juga menetapkan sendiri kriteria penentuan apakah suatu RUU dibahas oleh Komisi, Gabungan Komisi atau Pansus, antara lain berdasarkan pertimbangan:
1. Substansi dari undang-undang.
Apabila substansi undang-undang tersebut merupakan gabungan dari berbagai bidang-bidang yang ada di komisi maka dibentuk Pansus atau gabungan komisi. Sedangkan bila hanya mencakup satu bidang saja maka akan dibahas oleh komisi.
2. Beban kerja masing-masing komisi.
Apabila jadual suatu komisi terlalu padat maka dibentuklah pansus, akan tetapi bila terlalu banyak pansus dan orang habis dalam pansus-pansus maka dibahas di komisi.
Dalam pembahasan rancangan, Komisi dibantu oleh Sekretaris Komisi untuk merekam, mencatat dan mendokumentasi persidangan atau data, lain dan mengelola dokumentasi korespondensi (termasuk aspirasi masyarakat) yang berhubungan dengan Komisi tersebut. Permohonan untuk melakukan dengar pendapat dengan Komisi diajukan kepada sekretaris Komisi yang meneruskan kepada rapat pimpinan Komisi untuk mengagendakan rapat. Seharusnya Sekretaris Komisi mengelola dan menyerahkan seluruh dokumentasi kepada Bidang Dokumentasi Sekretariat Jendral DPR yang menyimpan seluruh dokumen kelembagaan. Namun sayangnya seringkali dokumen itu tidak sampai ke Bidang Dokumentasi.
Selanjutanya, penting bagi kita untuk memahami proses pembicaraan tingkat pertama. Ada tiga kegiatan yang ada dalam proses ini, yakni:
1. Pemandangan umum masing-masing fraksi terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah, atau tanggapan pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR. Tatib tidak mewajibkan penyampaian dokumen pemandangan secara tertulis sebelum agenda rapat, tetapi biasanya dokumen tersebut dibagikan pada saat rapat.
2. Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum Fraksi atau jawaban pimpinan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus atas tanggapan Pemerintah. Tatib tidak mewajibkan penyampaian dokumen pemandangan secara tertulis sebelum agenda rapat seperti halnya di atas. Biasanya dokumen tersebut juga dibagikan pada saat rapat.
3. Pembahasan dan persetujuan bersama atas RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
b. Pembicaraan Tingkat Dua
Pembicaraan tingkat dua adalah pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna. Dalam rapat, Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus melaporkan hasil pembicaraan tingkat pertama; lazimnya laporan ini dituangkan secara tertulis dan dibacakan dalam rapat. Jika dipandang perlu (dan lazimnya dilakukan), masing-masing Fraksi melalui anggotanya dapat menyertai catatan sikap Fraksinya.
Tidak jelas apakah masing-masing anggota (bukan Fraksinya) dapat menyampaikan catatan sikap mereka, namun tetap ada peluang untuk menyampaikan catatan individual berisikan catatan penting, keberatan dan perbedaan pendapat yang lazim disebut [mijnderheadsnota]. Terakhir, Pemerintah dapat menyampaikan sambutan Persetujuan DPR dituangkan dalam surat keputusan DPR dan disampaikan oleh Pimpinan DPR pada Presiden untuk [disahkan menjadi Undang-undang] dengan tembusan pada Menteri terkait













PENUTUP DAN KESIMPULAN
Akhirnya, inti dari makalah ini adalah:
 Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang harus kita jalankan sebagai warga negara Indonesia yang baik dan bertanggung jawab.
 Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Materi muatan UUD 1945 meliputi jaminan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.
 Sebuah RUU dapat berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) atau dari pemerintah. Di dalam DPR sendiri ada beberapa badan yang berhak mengajukan RUU, yaitu komisi, gabungan komisi, gabungan fraksi atau badan legislasi.








DAFTAR PUSTAKA
 http://organisasi.org/tata-urutan-peraturan-perundangan-sesuai-tap-iii-mpr-2000-hukum-undang-undang-indonesia
 http://prabugomong.wordpress.com/2011/04/01/tata-urutan-perundang-undangan-ri/
 http://gurupkn.wordpress.com/2007/11/23/proses-penyusunan-ruu/
 E.Junianti.2006.Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP/Mts kelas VIII.Jakarta:VMAX

3 komentar:

  1. Sepanjang apapun undang undang itu mereka tidak melihat justru malah giat melanggar..yah itulah dpr

    BalasHapus
  2. Maaf sebelumnya. Boleh Saya minta kuesioner penelitian yang menyangkut variabel "ketaatan pada peraturan perundangan"? Terima kasih.

    BalasHapus